Sunday, August 23, 2009

HORMATI PENDUDUK ASAL NUSANTARA



Hormati Penduduk Asal Nusantara



SEJARAH tidak dapat diubah sewenang-wenangnya. Oleh sebab itu, asal usul setiap kaum di negara ini mesti sentiasa jelas difahami oleh segenap lapisan masyarakat tidak terkecuali kalangan ahli politik.

Namun, apa yang berlaku adalah sebaliknya. Apa sahaja berkaitan orang Melayu termasuklah kedudukan mereka sebagai penduduk asal negara ini pun kerap benar dicabar dan dipersoalkan.

Hakikatnya, bagi Prof. Madya Datuk Zainal Abidin Borhan, orang Melayu bukanlah pendatang memandangkan Malaysia sendiri adalah sebahagian daripada lingkungan Nusantara yang merupakan wilayah kebudayaan Melayu.

Oleh hal demikian, kenyataan 'buta' sejarah hanya mengguris hati dan perasaan masyarakat Melayu. Malah, seakan-akan mahu memadam konsep Dunia Melayu yang telah lama digunakan dalam kerangka epistemologi antropologi oleh sarjana antarabangsa.

Sebelum kedatangan penjajah serta wujudnya sempadan geopolitik seperti hari ini, seluruh rantau Nusantara ini dihuni dan dimiliki oleh orang Melayu secara total.

Wilayah gugusan kepulauan Melayu ( The Malay Archipelago) yang diduduki oleh rumpun bangsa Melayu ini sebenarnya mempunyai banyak persamaan dan memiliki ciri keperibadiannya tersendiri dari segi asal-usul, bahasa, adat istiadat, sastera dan budaya.

Ini semua berbeza benar dengan ciri-ciri budaya orang lain yang diwarisi dari China dan India hari ini.

Menurut Wan Hashim Wan Teh (1991), sejak awal kurun Masihi lagi orang Melayu sudah memiliki sistem pemerintahan tersendiri bermula dari Kerajaan Campa (kini Kemboja) dan Funan (selatan Vietnam) sehinggalah ke Langkasuka, Sriwijaya, Pasai, Temasik, Melaka, Johor-Riau dan Acheh.

Pemerintahan

Sekitar awal abad ke-16 pula, Tome Pires dalam bukunya Suma Oriental juga sudah menyebut tentang pemerintahan raja-raja Melayu Langkasuka dan Pattani.

Kini, dunia Melayu merangkumi Malaysia, Indonesia, Brunei, Singapura, Kemboja serta wilayah selatan Siam dan selatan Filipina.

Malahan menurut sarjana Guillermo Q. Roman dalam kertas kerjanya yang dibentangkan di Seminar Dunia Melayu Ketiga pada 1988 menyifatkan rakyat Filipina bukan sahaja mempunyai hubungan dengan dunia Melayu bahkan sebahagian daripada dunia Melayu itu sendiri.

Tokoh kebanggaan Filipina iaitu Jose Rizal itu sendiri pun merupakan orang Melayu.

Begitu banyak bukti dan kajian terperinci daripada pelbagai sudut yang membuktikan orang Melayu adalah penduduk asal wilayah Nusantara ini.

Sebaliknya, tidak pula ditemui kajian konkrit oleh para sarjana terdahulu mengatakan bahawa orang Melayu adalah golongan pendatang sama seperti kaum Cina dan India.

Apa pun alasannya, para pemimpin terutamanya bukan Melayu perlu lebih halus budi pekertinya, tidak menyinggung perasaan, peka dan menghormati sensitiviti orang Melayu.

Mereka perlu 'belajar' untuk tidak bersikap kurang ajar seperti mana desakan mereka agar orang Melayu menghormati kedudukan mereka sebagai rakyat negara ini.

Mengapa apabila orang Melayu bercakap isu kaum kita dianggap sebagai perkauman sedangkan sekiranya orang lain bercakap hal yang sama tidak pula dianggap begitu?

Sukar benarkah untuk memahami perasaan orang Melayu dengan sedia bertolak ansur dan saling menghormati?

Oleh itu, para pemimpin bukan Melayu diseru agar berfikir terlebih dahulu sebelum melontarkan kata-kata.

Paling penting, mereka juga harus memahami dan menghargai kebudayaan orang Melayu sebagai penduduk asal dan pentakrif jati diri negara bangsa ini, bukannya diremehkan sesuka hati.

Sumpah Pemuda dalam ikrarnya yang sakral dalam mempersatukan bangsa delapan puluh tahun silam mengajak pemuda bangsa ini untuk menjadi pion pemersatu bangsa, dalam Sumpah ketiganya "Berbahasa Satu Bahasa Indonesia". Bahasa Indonesia yang dinobatkan sebagai alat yang kononnya mumpuni untuk mempemersatukan bangsa-bangsa tersebut seharusnya ditanam dalam kedalam kalbu sanubari. Akan tetapi, menulis dan berbicara berbahasa Indonesia bagi pemuda jaman "krisis ekonomi global" sekarang hanya menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa igauan pada saat mata terpejam lelap.


Lihatlah... diberbagai kota yang menjadi bagian dari bangsa ini tersebar sepanduk, baliho, papan nama perusahaan dan berbagai atribut papan reklame lainnya hampir semua menggunakan bahasa negara lain sebagai bahan pengenal jati diri dagangan mereka. Padahal, mereka sendiri adalah warga negara bangsa ini.


Pemuda saat ini lebih takut dikatakan tidak gaul ketimbang mereka menggunakan bahasa Indonesia yang dipelajari sekolah. Bahasa prokem, bahasa yang disingkat yang gaul dan dianggap lucu menjadi bahasa banggaan mereka. Bisakah kita mengghargai pejuang dan pemikir tempo dulu dalam memperjuangkan bangsa ini untuk merdeka...?


Menilik sejarah perjalanan kesusastraan bahasa di Indonesia perlu diperhatikan bila membicarakan perkembangan sastra dari zaman klasik sastra Melayu Aceh hingga kini. Dari perkembangan bahasa Melayu Pasai inilah bahasa Melayu sekarang memperoleh bentuk sehingga kemudian tampil sebagai bahasa intelektual dan sastra yang bermartabat.


Dari bahasa ini pulalah bahasa Melayu Riau dan bahasa Indonesia yang kita pakai sampai sekarang dan sudah seharusnya berakar yang bakal menyatukan bangsa-bangsa dinegeri ini.


Bahasa Indonesia yang diharapkan menjadi kokoh sebagai terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang seutuhnya, kenyataannya bangsa ini semakin berkelompok-kelompok dengan bermunculannya gerakan separatis daerah yang ingin memisahkan diri dari bangsa ini.


Nah, bagaimana kalau kita memulai dari awal lagi, sebagai bentuk perlawanan yang mengancam perpecahan bangsa sendiri yakni berpikir untuk mengubah nama bangsa ini lebih awal.


Pemikiran untuk mengubah nama Indonesia pernah diusulkan menjadi Nusantara. Alasannya nama Nusantara lebih sesuai dibandingkan Indonesia. pemikiran ini menganut pada pemikiran jauh sebelumnya pada 1920-an, Dr. Setiabudi yang memiliki nama asli Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1979-1950) yang mempopulerkan nama untuk tanah air ini kita adalah Nusantara. Satu kata yang tak memiliki unsur kata "HIndia" (dari kata bahasa Belanda = Nederlands Indie, Hindia Belanda). Nama yang digunakan pemerintah kolonial Belanda untuk menyebut negara kita.


Tokoh tiga serangkai ini mengambil nama ini dari Pararaton, naskah kono jaman kerajaan Majapahit yang ditemukan lalu diterjemahkan JLA Brandes dan kemudian dipublikasikan dalam penerbitan.


Pemikiran tentang Nusantara yang menarik dan menonjol dari seorang kebangsaan Belanda yang perduli terhadap kemerdekaan bangsa ini berbeda dengan penertian Nusantara pada zaman Majapahit.


Pada masa Majapahit, kata Nusantara dipakai untuk menyebut pulau-pulau diluar Jawa (dalam bahasa Sansekerta "antara" berarti pulau atau seberang) untuk dioposisikan dengan Jawadwipa (Pulau Jawa). Sosok Patih pemberani seperti Gajah Mada-lah mengucapkan Sumpah "Palapa Lamun huwus kalah nusantara, Isun Amukti Palapa" (jika pulau-pulau diseberang telah kalah, saya baru menikmati istirahat). Makna kalimat yang mengandung kolonialis memancing Setiabudi mengotak-ngatik kata nusantara zaman Majapahit menjelma menjadi makna mengandung nilai-nilai murni dan norma yang luhur menuntut kebersamaan dalam kebangsaan nasionalis.


Diangkat dari makna sastra Melayu asli "antara" Setiabudi mempopulerkan makna Nusantara menjadi makna yang baru yaitu "nusa diantara dua benua dan dua samudra". Dengan demikian, Jawa memasuki defenisi nusantara yang modern. Istilah baru Dr Setiabudi ini segera menjadi populer yang digunakan sebagai alternatif nama Hindia Belanda.


Pemikiran ini pernah diangkat oleh tokoh Tiga Serangkai lainnya. Ki Hajar Dewantara. Sebagai tokoh pendiri Taman Siswa ia mempopuler istilah Nusantara dan ada pula yang menyatakan bahwa istilah Nusantara diperkenalkan oleh KI Hajar Dewantara.
Ki Hajar Dewantara sendiri menjadi anggota Partai Douwes Dekker, Indische Partij. Bersama Dr Cipto Mangunkusumo mereka dikenal sebagai "Tiga Serangkai". Kemungkinan besar Nusantara adalah ide Dewanatara dan Douwes Dekker yang sejalan.